SIHIR - PIKIR

Posted on by Yanti Sri Budiarti

SASTRA LOKAL DALAM PERDAGANGAN BEBAS
Oleh Agus Nasihin


I. PENDAHULUAN


Sebagian masyarakat Indonesia akhir-akhir ini sedang dilanda keresahan gara-gara diberlakukannya ACFTA (perdagangan bebas antara ASEAN dan Cina). Kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi pada tahun 2002, yaitu dengan diberlakukannya AFTA (perdagangan bebas di kawasan ASEAN). Sepuluh tahun kemudian, yaitu 2020 kita akan memasuki perdagangan bebas di negara Asia-Pasifik (APEC). Mungkinkah sepuluh tahun kemudian kita akan bertemu lagi dengan keresahan yang makin parah. Dalam pergaulan perdagangan bebas, kita selalu melihatnya dari kaca mata “ancaman” bukan kaca mata “tantangan” atau “peluang”.


Peristiwa di atas sebenarnya telah diingatkan sejak lama dengan istilah yang sekarang mungkin sudah sangat basi, yaitu globalisasi. Ketika menyebut kata globalisasi, mau tidak mau kita harus melirik ke belakang, yaitu nasionalisasi dan lokalisasi. Sebelum munculnya globalisasi, tahun 30-an telah muncul gagasan Sutan Takdir Alisyahbana tentang orientasi ke Barat. Kemudian, penentangan muncul dari Sanusi Pane yang menganjurkan untuk memadukan antara Barat dan Timur. Demikian pula dengan dr. Soetomo atau Ki Hajar Dewantoro, menganjurkan kembali ke khazanah kebudayaan Indonesia.


Lantas apa hubungan antara perdagangan bebas, globalisasi dengan sastra lokal? Globalisasi sendiri lebih mengarah pada masalah perekonomian (perdagangan). Akan tetapi, urusan ekonomi-perdagangan tidak berdiri sendiri, seperti yang dapat kita lihat pada masa lalu. Bangsa Arab, Gujarat, Portugis, atau Belanda ketika berniaga ke Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya (termasuk di dalamnya bahasa-sastra). Pada masa kini rombongan-rombongan seni melakukan pertunjukan di luar negeri sebagai bagian dari promosi kebudayaan Indonesia dan produk-produk dagangan. Dengan demikian, dalam pergaulan global, produk lokal merupakan “komoditas” yang memiliki nilai tinggi dengan berbagai derivasinya.


II. SASTRA LOKAL – NASIONAL – GLOBAL


Istilah sastra lokal dapat dipadankan dengan sastra daerah. Dalam pengertian yang luas sastra lokal dapat mencakup karya (bentuk, isi, dan bahasa) maupun sastrawan yang mengusung identitas kedaerahannya. Dari pengertian yang luas tersebut dapat ditarik beberapa hal:


1. Sastra lokal adalah sastra tradisional yang muncul sebelum adanya pengaruh Barat. Dari segi bentuk dikenal mantra, pantun, gurindam, syair, bakaba, hikayat, cerita panji. Dari segi isi berkaitan dengan masalah-masalah lokal (masyarakat sekitar atau sekitar istana). Dari segi bahasa, menggunakan bahasa daerah setempat. Demikian pula sastrawannya adalah orang yang lahir atau tinggal di daerah tersebut.
2. Sastra lokal adalah sastra modern (setelah mendapat pengaruh Barat) ditulis dengan bahasa daerah setempat. Contoh jenis ini adalah puisi-puisi atau cerpen/novel yang ditulis dalam bahasa daerah setempat.
3. Sastra lokal adalah sastra modern yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia, tetapi mengusung isu-isu kedaerahan.


Sementara itu, sastra nasional diartikan sebagai sintesis dari sastra lokal atau karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan sastra global lebih dikenal sebagai sastra universal, seperti yang didengungkan oleh Chairil Anwar dan para seniman Gelanggang yang menyatakan sebagai ”ahli waris kebudayaan dunia”. Orientasi sastra universal ini lebih pada semangat untuk dapat bergaul menembus sekat-sekat daerah dan nasional, sementara dalam pengucapannya masih menggunakan bahasa Indonesia.


III. KONVENSI SEBAGAI TRADISI DAN INOVASI SEBAGAI MODERN


Konvensi merupakan pedoman atau anutan dari kelompok masyarakat (tradisional). Pelanggaran terhadap konvensi berarti pelanggaran terhadap tradisi. Akan tetapi, dalam dunia kesusastraan, seperti yang diungkapkan oleh Teeuw, bahwa sastra berada di antara konvensi dan inovasi. Karya sastra kapan pun ditulis tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya (Teeuw, 1983: 63). Dengan demikian, karya sastra Indonesia atau nasional memiliki pijakan yang kuat dalam karya sastra tradisional atau daerah karena sastrawan Indonesia lahir dari multikulturalisme.


Inovasi sendiri merupakan bentuk lain dari proses pemodernan. Pemodernan adalah suatu proses yang tak terelakan akibat perkembangan proses komunikasi yang semakin terbuka. Pergaulan dengan sastra Barat telah melahirkan transformasi. Walaupun demikian, upaya pemertahanan identitas kelokalan semakin hari semakin dirasakan amat penting, muncullah sastrawan-sastrawan yang mempertimbangkan tradisi dalam karya-karyanya, seperti Sutardji dengan puisi-puisi mantranya atau Darmanto Jatman dengan menumpangtindihkan kosakata Jawa dengan kosakata bahasa Indonesia dalam puisi-puisinya. Taufik Ismail, misalnya membuat puisi yang berjudul:
“Gurindam Satu”
Secoret parafku memancarkan komisi seratus juta.
Bertahun-tahun begitu sampai mataku buta.


Atau Agus R. Sardjono menulis puisi yang berjudul:
”Pantun Latihan”
Kuterbarkan remah roti
di taman kota Amsterdam bersalju
Beribu-ribu burung merpati
berbondong-bondong menyerbu
Kutebarkan remah makanan
di taman kota Jakarta terik siang
Beribu gelandangan dan anak jalanan
Serempak datang menerjang


Karya-karya fiksii yang bermuatan warna lokal pun banyak kita temukan, misalnya, ”Warisan” karya Chairul Harun, ”Bako” karya Darman Munir, ”Upacara” karya Korie Layun Rampan, ”Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi, ”Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari. Bahkan yang sering mendapatkan penghargaan adalah karya-karya semacam ini, seperti karya Sihar Ramses Simatupang ”Bulan Lebam di Danau Toba” meraih penghargaan Khatulistiwa Award.


Upaya-upaya untuk mengangkat karya-karya lokal juga datang dari pribadi-pribadi para sastrawan daerah yang ingin menunjukkan eksistensinya. Bahkan Ajip Rosidi secara periodik memberikan penghargaan Rancage bagi karya-karya sastra terbaik yang berbahasa Sunda, Jawa, dan Bali. Sayangnya, hal ini belum banyak didukung oleh pemerintah-pemerintah daerah. Bentuk lain untuk menjaga eksistensi sastra lokal ini adalah dengan adanya media lokal berbahasa daerah. Sayangnya juga media-media semacam ini hidupnya kembang kempis karena tidak banyak dibeli oleh masyarakat.


IV. SASTRA LOKAL DALAM PENGAJARAN SASTRA


Apresiasi sastra di kalangan siswa bahkan di kalangan mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia pun masih terus dikeluhkan. Hal ini sangat erat berkaitan dengan belum terbentuknya budaya baca di kalangan siswa/mahasiswa (serta guru). Kalaupun mereka membaca, lebih tertarik pada bacaan sastra populer yang biasanya lebih banyak mengedepankan persoalan metropolitan yang dangkal .


Sementara itu, banyak karya sastra yang mengedepankan warna lokal belum menjadi perhatian siswa/mahasiswa. Hal ini terjadi karena, salah satunya, tidak ada peran guru untuk menginformasikan atau menugasi mereka untuk membaca karya-karya sastra yang mengusung kelokalan tersebut. Bagaimana mungkin guru dapat menginformasikan atau menugasi, dirinya sendiri tidak membacanya.


Dalam KTSP guru dan sekolah diberi peluang untuk membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Di sana, tidak ada keharusan menggunakan kurikulum tertentu beserta sejumlah daftar bukunya yang juga tertentu. Dalam hal ini, prinsip fleksibilitas memberi keleluasaan bagi guru untuk menambah jumlah jam pelajaran per minggu sesuai kebutuhan. Di sana, diizinkan pula memasukkan muatan lokal sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.


Bagi sebagian guru (mungkin sebagian besarnya) adanya kebebasan dalam mengembangkan materi ini justru membuat kelimpungan. Mereka tidak mau sedikit berusaha untuk mencari referensi, membacanya, dan merumuskan materi yang dikembangkannya sendiri. Kendala lain yang mungkin akan menyulitkan pelaksanaan KTSP adalah masih adanya penyelenggaraan Ujian Nasional. Keberhasilan guru mengajar sering diukur oleh keberhasilan siswa lulus UN.


Jika kondisi-kondisi di atas sedikit-demi sedikit dapat diubah dengan memperbaiki sistem, mungkin pengajaran sastra (nasional dan lokal) dapat berkembang dengan baik. Model sertifikasi guru dengan menuntut profesionalisme guru harus tecermin dari banyaknya membaca dan kemampuan menulis. Demikian pula dengan ujian nasional yang tidak lagi menjadi satu-satunya kriteria kelulusan serta perbaikan model soal akan mengarah kepada peningkatan apresiasi sastra siswa. Dengan demikian, para siswa di daerahnya masing-masing dapat mengenal karya sastra dan sastrawan daerahnya. Dialog pun perlu digagas dan dilaksanakan antara siswa dan para sastrawan daerah. Guru-guru bahasa dan sastra bisa langsung menghadirkan sastrawan daerah di kelas-kelasnya untuk menggali proses kreatif mereka.



DAFTAR PUSTAKA
Esten, Mursal. 1990. Tradisi dan Modernitas dalam Sandiwara. Jakarta: Intermasa.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan. Yogyakarta: UGM.
Sweeney, Amin, dkk. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok: Dasantara.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wahyudi, Ibnu, dkk. 1990. Konstelasi Sastra. Depok: Fakultas Sastra UI.

*Disampaikan pada Simposium Sastra Lokal dalam Perspektif Pendidikan, 21 Januari 2010

 
Copyright © 2012 - All right reserved | Template design by Agus Nasihin